APA ITU PEMILU ?
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah suatu proses di mana
para pemilih memilih orang-orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik
tertentu. Jabatan-jabatan yang disini beraneka-ragam, mulai dari Presiden,
wakil rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks
yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan
seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih
sering digunakan.Sistem pemilu digunakan adalah asas luber dan jurdil
Sistem Pemilihan Umum di Indonesia
Sistem pemilihan umum adalah merupakan salah satu instrumen kelembagaan
penting di dalam negara demokrasi. Demokrasi itu di tandai dengan 3 (tiga)
syarat yakni : adanya kompetisi di dalam memperebutkan dan mempertahankan
kekuasaan, adanya partisipasi masyarakat, adanya jaminan hak-hak sipil dan
politik. Untuk memenuhi persyaratan tersebut
diadakanlah sistem pemilihan
umum, dengan sistem ini kompetisi, partisipasi, dan jaminan hak-hak politik
bisa terpenuhi dan dapat dilihat. Secara sederhana sistem politik berarti
instrumen untuk menerjemahkan perolehan suara di dalam pemilu ke dalam
kursi-kursi yang di menangkan oleh partai atau calon. Sistem pemilu di bagi
menjadi dua kelompok yakni :
1. sistem
distrik ( satu daerah pemilihan memilih satu wakil )
didalanm sistem distrik satu wilayah kecil memilih
satu wakil tunggal atas dasar suara terbanyak, sistem distrik memiliki variasi,
yakni :
· firs
past the post : sistem yang menggunakan single memberdistrict dan pemilihan
yang berpusat pada calon, pemenagnya adalah calon yang memiliki suara
terbanyak.
· the
two round system : sistem ini menggunakan putaran kedua sebagai landasan untuk
menentukan pemenang pemilu. hal ini dilakukan untuk menghasilkan pemenang yang
memperoleh suara mayoritas.
· the
alternative vote : sama seperti firs past the post bedanya para pemilih diberi
otoritas untuk menentukan preverensinya melalui penentuan ranking terhadap
calon-calon yang ada.
·
block vote : para pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calon-calon
yang terdapat dalam daftar calon tanpa melihat afiliasi partai dari calon-calon
yang ada.
2. sistem
proporsional ( satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil )
dalam sistem ini satu wilayah besar memilih beberapa
wakil. prinsip utama di dalam sistem ini adalah adanya terjemahan capaian suara
di dalam pemilu oleh peserta pemilu ke dalam alokasi kursi di lembaga
perwakilan secara proporsional, sistem ini menggunakan sistem multimember
districts. ada dua macam sitem di dalam sitem proporsional, yakni ;
· list
proportional representation : disini partai-partai peserta pemilu menunjukan
daftar calon yang diajukan, para pemilih cukup memilih partai. alokasi kursi
partai didasarkan pada daftar urut yang sudah ada.
· the
single transferable vote : para pemilih di beri otoritas untuk menentukan
preferensinya. pemenangnya didasarkan atas penggunaan kuota.
perbedaan pokok antara sistem distrik dan
proporsional adalah bahwa cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan
perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai
politik.
Di Indonesia sudah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan
umum sejak kemerdekaan Indonesia hingga tahun 2009. Sistem pemilihan umum yang
di anut oleh Indonesia dari tahun 1945-2009 adalah sistem pemilihan
Proporsional, adanya usulan sistem
pemilihan umum Distrik di indonesia yang sempat diajukan, ternyata di tolak.
Pemilu-pemilu paska Soeharto tetap menggunakan sistem proporsional dengan
alasan bahwa sistem ini dianggap sebagai sistem yang lebih pas untuk Indonesia.
Hal ini berkaitan dengan tingkat kemajemukan masyarakat di Indonesia yang cukup
besar. Terdapat kekhawatiran ketika sistem distrik di pakai akan banyak
kelompok-kelompok yang tidak terwakili khususnya kelompok kecil. Disamping itu
sistem pemilu merupakan bagian dari apa yang terdapat dalam UU Pemilu 1999 yang
di putuskan oleh para wakil yang duduk di DPR. Para wakil tersebut berpandangan
bahwa sistem proporsional itu lebih menguntungkan dari pada sistem distrik.
Sistem proporsional tetap dipilih menjadi sistem pemilihan umum di Indonesia
bisa jadi sistem ini yang akan terus di pakai. hal ini tak lepas dari realitas
yang pernah terjadi di negara-negara lain bahwa mengubah sistem pemilu itu
merupakan sesuatu yang sangat sulit perubahan itu dapat memungkinkan jika
terdapat perubahan politik yang radikal. Di Indonesia sendiri sistem
Proporsional telah mengalami perubahan-perubahan yakni dari perubahan
proporsional tertutup menjadi sistem proporsional semi daftar terbuka dan
sistem proporsional daftar terbuka.
Pasca pemerintahan Soeharto 1999, 2004 dan 2009
terdapat perubahan terhadap sistem
pemilu di Indonesia yakni terjadinya modifikasi sistem proporsional di
indonesia, dari proporsional tertutup menjadi proporsional semi daftar terbuka.
Dilihat dari daerah pemilihan terdapat perubahan antara pemilu 1999 dengan masa
orde baru. pada orde baru yang menjadi daerah pilihan adalah provinsi, alokasi
kursinya murni di dasarkan pada perolehan suara di dalam satu provinsi,
sedangkan di tahun 1999 provinsi masih sebagai daerah pilihan namun sudah
menjadi pertimbangan kabupaten/kota dan alokasi kursi dari partai peserta
pemilu didasarkan pada perolehan suara yang ada di masing-masing provinsi
tetapi mulai mempertimbangkan perolehan calon dari masing-masing kabupaten
/kota. Pada pemilu 2004 daerah pemilihan tidak lagi provinsi melainkan daerah
yang lebih kecil lagi meskipun ada juga daerah pemilihan yang mencangkup satu
provinsi seperti Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, kepulauan Riau,
Yogyakarta, Bali, NTB, semua provinsi di Kalimantan, Sulawesi Utara dan Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku
Utara, Papua dan Irian Jaya Barat. masing-masing daerah pilihan mendapat jatah
antara 3-12 kursi. Pada pemilu 2009 besaran daerah pemilihan untuk DPR
diperkecil antara 3-10. Perbedaan lain berkaitan dengan pilihan terhadap
kontestan. pada pemilu 1999 dan orde baru para pemilih cukup memilih tanda
gambar kontestan pemilu. pada tahun 2004 para pemilih boleh mencoblos tanda
gambar kontestan pemilu dan juga mencoblos calonnya. hal ini dimaksudkan agar
pemilih dapat mengenal dan menetukan siapa yang menjadi wakil di DPR dan memberikan
kesempatan pada calon yang tidak berda di nomor atas untuk terpilih asalkan
memenuhi jumlah bilangan pembagi pemilih
(BPP), dikatakan perubahan proporsional ini semi daftar terbuka karena
penentuan siapa yang akan mewakili partai didalam perolehan kursi di DPR/D
tidak didasarkan para perolehan suara tebanyak melainkan tetap berdasarkan
nomor urut, kalupun di luar nomer urut harus memiliki suara yang mencukupi BPP.
Sistem proporsional semi daftar terbuka sendiri pada
dasarny merupakan hasil sebuah kompromi. dalam pembahasan RUU mengenai hasil
pemilu pada 2002, PDIP, GOLKAR, PPP terang-terangan menolak sistem daftar
terbuka, dikarenakan penetuan caleg merupakan hak partai peserta pemilu. memang
jika diberlakukannya sistem daftar terbuka akan mengurangi otoritas partai di
dalam menyeleksi caleg mana saja yang di pandang lebih pas duduk di DPR/D.
tetapi tiga partai itu akhirnya menyetujui perubahan hanya saja perubahannya
tidak terbuka secara bebas melainkan setengah terbuka. perubahan-perubahan
disain kelembagaan seperti itu pada kenyataannya tidak membawa perubahan yang
berarti. ada beberapa penyebab diantaranya yaitu : pada kenyataannya para
pemilih tetap lebih suka memilih tanda gambar dari pada menggabungkannya dengan
memilih calon yang ada di dalam daftar
pemilih karena lebih mudah. selain itu, di lihat dari tingkat keterwakilan
masih mengandung masalah. permasalahan ini khususnya berkaitan dengan
perbandingan jumlah suara dengan jumlah alokasi kursi di DPR/D kepada
partai-partai. di sisi lain juga nilai BPP antara daerah pemilihan yang satu
dengan daerah pemilihan yang lain memiliki perbedaan. mengingat sistem. hal ini
terkait dua hal yakni pertama terdapat upaya untuk mengakomodasi gagasan
adanaya keterwakilan yang berimbang antara Jawa dan luar Jawa, kedua secara
kelembagaan terdapat keputusan bahwa satu daerah pemilihan mininal memiliki 3
kursi. implikasinya adalah terdapatnya daerah pemilih bahwa BPP nya berada di
bawah rata-rata BPP nasional tetapi ada
juga yang berada dia atas BPP nasional.
Memingat sistem pemilu yang sudah di modifikasi dan
mengalami sedikit perbaikan itu masih tidak terlepas dari kekurangan, terdapat
usul untuk melakukan modifikasi sistem proporsional lanjutan. kalau pada pemilu
2004 sudah dipakai sistem daftar setengah terbuka, untuk pemilu-pemilu
selanjutnya usulan digunakannya sistem daftar terbuka. di dalam sistem ini
digunakan nomor urut di dalam daftar calon tidak lagi dijadikan ukuran untuk
menjadikan calon mana yang mewakili partai di dalam perolehan kursi sekitarnya
tidak ada calon yang memenuhi BPP yang di jadikan ukuranya adalah calon yag
memperoleh suara terbanyak. Presiden SBY termasuk yang pernah mengusulkan
sistem demikian sebagaimana dijelaskan oleh Andi sistem ini baik untuk partai
karena semua calon akan berkerja keras untuk partainya. rakyat juga mendapatkan pilihan yang jelas. sebab siapa
yang paling banyak mendapat sura akan masuk ke parlemen tanpa memakai nomer
urut yang keriterianya tidak sering jelas dan menjadi sumber politik uang.
sistem ini juga mendapat dukunagn dari PAN akan tetapi PDIP menolak, sebagimana
dikemukakan oleh Tjahjo Kumolo, dengan menghapuskan nomer urut itu justru
membuka peluang money politics dan dianggap mendeligitimasi keberadaan partai,
demikian juga Jusuf Kalla (GOLKAR) menurutnya sistem terbuka tanpa nomer urut
dapat di lakukan secara teoritis tapi sulit praktiknya. perdebatan smacam itu
telah di selesaikan di dadal UU pemilu No 10 tahun 2008. UU ini merupakan
aturan dasar untuk pemilu 2009 di dalam UU ini memang disebutkan bahwa pada
pemilu 1999 Indonesia menganut sistem daftar terbuka. tetapi kenyataanya
Indonesia masih menganut sistem semi daftar terbuka. hal ini tidak terlepas
dari aturan bahwa calon yang memperoleh suara terbanyak di dalam suatu partai
tidak otomatis terpilih menjadi wakil. tapi yang membedakan dengan pemilu 2004
adalah bahwa di dalam pemilu 2009 yang memperoleh suara min 30% dari BPP
memiliki kesempatan mewakili partai di dalam perolehan porsi meskipun tidak
berada di nomer urut jadi. di samping itu pemilu 2009 juga memperkuat tuntutan
pemberian kepada perempuan semua partai wajib menyertakan calon perempuan
sebanyak 30%, atau 1 dari setiap 3 calon harus perempuan. tetapi aturan wajib
ini tidak disertai sanksi yang jelas dan tegas manakala ada partai-partai yang
melanggarnya.
Keputusan sebagaimana yang terdapat di dalam UU no
10 tahun 2008 mengalami perubahan setelah hampir setahun, kemudian MK
mengabulkan tentang suara terbanyak sebagai patokan untuk mengalokasikan kursi
kepada partai-partai yang memperoleh kursi. keputusan ini menjadikan sistem
pemilu di Indonesia benar-benar masuk kedalam kategori sistem proporsional
daftar terbuka. Calon yang memperoleh suara terbanyak yang akan lolos menjadi anggota DPR/D dari partai yang memperoleh alokasi kursi. Akibat
dari perubahan-perubahan itu, pemilu 2009 dan bisa jadi pemilu-pemilu
selanjutnya memiliki konsekuensi-konsekuensi tersendiri. pertama, kompetisi
partai semakin kuat seiring di berlakukannya parliementary
thresholdparliementary threshold adalah dimungkinkannya sistem multipartai
sederhana di dalam pemerintahan di tingkat pusat, multipartai di dalam
pemerintahan di daerah dandi pemilu. hasil pemilu 2009 menunjukan 9 partai yang
mendapat kursi di DPR karena lolos parliementary threshold dan tidak sedikit juga
partai-partai yang tidak memiliki kursi di DPR tetapi mendapat kursi di DPRD.
Hal ini dikarenakan ketentuan PT hanya berlaku untuk DPR bukan untuk DPRD.
Realitas ini memperkuat pandangan bahwa aturan main di dalam sistem pemilu itu
mewakili implikasi yang cukup besar pada alokasi kursi atau perwakilan dan
kekuatan-kekuatan politik yang ada.dan pengecilan besaran Daftar pilih untuk
pemilu anggota DPR. Kedua, kompitisi internal partai semakin tinggi. Kompitisi
akhir ini mencangkup kompitisi antarcalon di dalam setiap Dapil dan antar
calon laki-laki dan perempuan. Kompetisi
ini menjadi sangat tinggi setelah pengalokasian kursi menggunakan mekanisme
(suara terbanyak). Kompetisi antar partai dan antar calon di internal partai
itu lebih mengemuka lagi karena kurun waktu kampanye berlangsung lebih lama,
setelah ditetapkannya partai peserta pemilu partai dan calon bisa langsung
melaksanakan kampanye dialogis, dan sebagai konsekuensi di berlakukannya
Kelemahan sistem politik di Indonesia
Seperti kita ketahui, hanya sistem proporsional
telah berlaku di Indonesia mulai Pemilu 1955 sampai sekarang. Dengan kata lain
sistem perwakilaan proposional adalah sistem yang ditentukan oleh proporsi
kursi suatu parpol dalam badan legislatif akan persis sama dengan proporsi suara
yang diperoleh (persentase kursi = persentase suara). Ada juga yang dkenl
dengan sistem perwakilan distrik yaitu sistem yang ditentukan atas kesatuan
geografis dimana setiap geografis/ distrik hanya memilih seorang wakil dan
jumlah distrik yang dibagi sama dengn jumlah anggota parlemen, sistem distrik
lebih menekankan kepada perwakilan teritorial dan komunitas.
Kelemahan dari sistem pemilu distrik adalah banyak
suara terbuang, kemudian kurang terakomodir suara dari masyarakat yang
minoritas serta kurangnya representatif karena calon yang kalah kehilangan
suara pendukungnya. Kemudian bagi sistem proporsional pemilih tidak mengenal
siapa yang dipilih, dan yang terpilih tersebut lebih bertanggungjawab kepada
partai bukan kepada masyarakat. Kemudian mempermudah fragmentasi dan timbulnya
partai-partai baru, hal ini menyebabkan banyaknya partai bisa mempersulit
terbentuknya pemerintah stabil.
Dari kelemahan-kelemahan kedua sistem tersebut
dapat menyebabkan persoalan yang terjadi
selama masa pemilu yaitu praktek money politic. Money politic adalah suatu
upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga
diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan
membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai unatuk mempengaruhi suara
pemilih. Hal ini menuntut partai politik (parpol) sebagai instrumen demokrasi
harus menyelaraskan platform politiknya terhadap perubahan yang terjadi di
masyarakat. Tak sedikit, perubahan tersebut menjadi tantangan bagi parpol.
Sebut saja masalah golongan putih (golput) yang muncul akibat ketidakpercayaan
kelompok ini kepada parpol. Kini, di masyarakat juga muncul kecenderungan
menginginkan figur-figur baru sebagai pemimpin. Tentunya, figur yang bisa
membawa perubahan.
Misalkan pada sistem distrik, calon yang kalah akan
kehilangan suara pendukungnya. Kemudian pada sistem perwakilan proporsional,
karena banyaknya partai yang ingin mencalonkan diri, maka calon legeslatif atau
parpol akan berlomba-lomba untuk mendapatkan satu kursi baik di DPR, DPD dan DPRD. Dengan kata lain, mereka bisa
menggunakan money politic utuk memenangkan kursi tersebut. Akibatnya yang
muncul adalah perlombaan untuk mengumpulkan uang dari berbagai sumber dan tidak
mendorong pemberantasan korupsi yang dibutuhkan masyarakat. Padahal sudah
tertera dalam pasal 218 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang larangan caleg yang
melakukan money politik. Jika tindak pidana money politic terbukti di
pengadilan, maka caleg yang bersangkutan tidak dapat dilantik sebagai anggota
DPRD tingkat kabupaten, propinsi, pusat maupun DPD.
Dengan cara money politic hanya calon yang memiliki
dana besarlah yang dapat melakukan kampenye dan sosialisasi ke seluruh
Indonesia. Ini memperkecil kesempatan bagi kandidat perorangan yang memiliki
dana terbatas, walaupun memiliki integritas tinggi sehingga mereka tidak akan
dikenal masyarakat. Efek yang paling membahayakan dari kebiasaan money politics
dalam pemiluadalah keinginan untuk segera mengembalikan ”modal” yang telah
dikeluarkan selama proses Pemilu. Gaji yang diterima tiap bulan pastilah tidak
cukup untuk mengambalikan modal yang bisa mencapai puluhan miliar rupiah itu.
Jalan satu-satunya hanyalah korupsi.
Solusi sistem pemilu di indonesia
Dari kelemahan-kelemahan tersebut harus ada
solusinya, yang mungkin dilakukan kedepan menerapkan sistem presidensial murni.
Kemudian pemetaan hubungan antara ekeskutif dengan legislatif harus jelas, dan
sistem partai yang sederhana. Serta membangun paradigma bahwa institusi parta
politik bukan hanya tempat mencari rezeki, tapi juga melakukan pengabdian
kepada masyarakat.
Salah satu hal terpenting dalam meningkatkan
kualitas proses politik adalah membenahi kapasitas pengorganisasian proses
penyelenggaraan pemilu. Termasuk ke dalamnya adalah memperkuat kewenangan
lembaga pengawas pemilu dalam melakukan kontrol terhadap berbagai potensi
penyelewengan penyelenggaraan proses pemilu.
Hal lain adalah mendorong proses rekrutmen politik
yang lebih rasional dan terbuka, tidak hanya berdasarkan pertimbangan emosional
melalui proses yang tidak transparan. Untuk itulah mekanisme debat publik perlu
didorong dan difasilitasi secara lebih intensif, agar publik mengetahui
kelayakan visi dan misi para wakil dan para pemimpin politiknya, serta dapat
menilainya secara kritis. Publik perlu didorong untuk lebih mampu merumuskan
standar dan parameter yang jelas bagi penyaringan para pejabat politik yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, baik dari segi kemampuan, sikap dan
karakter, etika politik, maupun kejujurannya. Pola-pola penyaringan terhadap
para anggota parlemen dan para calon presiden yang sudah dilaksanakan oleh
negara-negara demokrasi maju dapat dijadikan acuan, untuk menguji integritas
dan visi kepemimpinan dari para calon. Demikian juga proses uji kelayakan
terhadap para pejabat publik. Metode uji kelayakan yang sudah berjalan selama
ini di DPR, perlu diperluas jangkauannya ke berbagai tingkat dan diperbaiki
kualitasnya, serta dengan keterbukaan yang lebih besar terhadap penilaian
masyarakat umum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar